Rabu, 09 Oktober 2013

Jilbab Kok Dibuat Kedok!


Bismillahirrahmanirrahim…
“Pakai jilbab yang bener ya Say! Mendingan kayak aku, meski nggak pakai jilbab tapi hati selalu baik. Daripada pakai jilbab tapi dibelakang masih suka ngelakuin yang macem-macem. Iihh… Malu tuh sama si jilbab”
“Halah, jilbabmu Cuma kedok doank! Semua orang juga tau, paling-paling buat tebar pesona doank, ikut-ikutan doank, kan lagi ngetrend tuh!”
Yang dituduh hanya tertunduk, hatinya terus berteriak “ini bukan kedok, sama sekali bukan !”, tapi orang-orang yang di sekitarnya seolah enggan melihat perubahan yang terjadi pada dirinya. Sedikit demi sedikit sindiran halus sampai yang terang-terangan memojokkannya, berhasil menguasai hati. Akhirnya, karena rasa nggak percaya diri, taku terus disindir dan takut mengecewakan orang-orang di sekitarnya, dia rela menanggalkan jilbabnya.
Sangat disayangkan, tuduhan-tuduhan sebagian orang pada muslimah berjilbab seringkali membuat mereka resah, ragu, bahkan ada yang dengan suka rela akhirnya menanggalkan jilbabnya. Hanya karena satu orang yang berbuat, semua muslimah seolah-olah menjadi tersangka utama. Hanya karena satu orang yang berbuat kesalahan, semua muslimah jadi patut dituntut.
Sebagian muslimah seakan dijejali trauma ketika tuduhan –tuduhan menyakitkan terus menggerogoti, seakan para muslimah ini makhluk paling bersalah karena menggunakan jilbab. Tentu saja, hal ini adalah permainan syetan, mana ada syetan yang mau seorang muslimah berubah menjadi tunduk atas perintah Robbnya. Maka, bekerjalah si syetan lewat aksi wanita yang ‘enggan’ menggunakan jilbab, dengan cara halus bahkan dengan cara seenaknya. Hanya dengan alasan-asalan nggak masuk akal  seperti jilbab hati dulu lah atau mendingan nggak pake jilbab tapi baik, daripada pakai jilbab tapi kelakuan nggak banget. Faktanya, mereka hanya ingin mencari kawan agar ada yang menemani mereka nggak pakai jilbab atau hanya mencari pembenaran agar mereka nggak terkena gugatan karena nggak taat atas aturan Rabbnya yang tercantum dalam Surat An Nur 31 dan Al Ahzab 59.
Ketidaksempurnaan manusia nggak akan berubah meski dia memakai jilbab, seorang muslimah berjilbabpun nggak lepas dari kesalahan karena itu memang fitrahnya sebagai manusia. Hanya saja mereka tetap berusaha untuk taat terhadap Pencipta-Nya dengan melaksanakan aturannya, inilah bukti kecintaannya pada Sang Pencinta. Bukan hanya asal berkata “aku cinta pada-Nya” tapi enggan menerima perintah-Nya, apakah ini bisa dibilang mencintai-Nya?
Nggak ada alasan seorang wanita enggan menggunakan jilbab, karena ketika Allah memerintahkan maka wajiblah untuk kita melaksanakannya. Kalaupun masih ada yang enggan berjilbab karena dia takut kalau nggak bisa jaga jilbabnya, maka sudah sepantasnya dia bertanya pada hatinya, apakah dengan nggak berjilbab dia sudah bisa menjadi seseorang yang sempurna yang nggak pernah berbuat kesalahan?
So, Azzamkan dalam diri kita bahwa kita berjilbab karena Allah Azza Wa Jalla, bukan karena yang lain. Jadi ketika ada orang lain yang menganggap remeh jilbab kita, kita kembalikan kepada Allah. Karena hanya Dia yang memahami niat kita, keinginan kita, rasa sedih kita, nggak ada yang lain. Biarlah orang lain berkata bahwa jilbab yang kamu dan aku pakai sebagai kedok, topeng atau apalah, yang pasti Allah Subahanahu Wa Ta’ala nggak akan pernah salah mengenali hamba-hambaNya.
“Katakanlah: Apakah (mau) Kami beritahu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang sia-sia saja perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat usaha yang sebaik-baiknya. Mereka itulah orang-orang yang mengingkari (kufur) terhadap ayat-ayat Allah dan menemui-Nya, maka hapuslah amal pekerjaan mereka, dan Kami mengadakan suatu pertimbangan terhadap (amalan) mereka di hari kiamat.Demikianlah, balasan mereka ialah jahanam, disebabkan mereka kufur/ingkar dan karena mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan Rasul-rasul- Ku sebagai olok-olok.”(Surat Al-Kahfi (18) ayat 103-106)
Wallahua’lam bish shawwab.

Senin, 07 Oktober 2013

Hai Cantik! Yuk, Berjilbab!

Saudariku…
Seorang mukmin dengan mukmin lain ibarat cermin. Bukan cermin yang memantulkan bayangan fisik, melainkan cermin yang menjadi refleksi akhlak dan tingkah laku. Kita dapat mengetahui dan melihat kekurangan kita dari saudara seagama kita. Cerminan baik dari saudara kita tentulah baik pula untuk kita ikuti. Sedangkan cerminan buruk dari saudara kita lebih pantas untuk kita tinggalkan dan jadikan pembelajaran untuk saling memperbaiki.
Saudariku…
Tentu engkau sudah mengetahui bahwa Islam mengajarkan kita untuk saling mencintai. Dan salah satu bukti cinta Islam kepada kita –kaum wanita– adalah perintah untuk berjilbab. Namun, kulihat engkau masih belum mengambil “kado istimewa” itu. Kudengar masih banyak alasan yang menginap di rongga-rongga pikiran dan hatimu setiap kali kutanya, “Kenapa jilbabmu masih belum kau pakai?”Padahal sudah banyak waktu kau luangkan untuk mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perintah jilbab. Sudah sekian judul buku engkau baca untuk memantapkan hatimu agar segera berjilbab. Juga ribuan surat cinta dari saudarimu yang menginginkan agar jilbabmu itu segera kau kenakan. Lalu kenapa, jilbabmu masih terlipat rapi di dalam lemari dan bukan terjulur untuk menutupi dirimu?

Mengapa Harus Berjilbab?
Mungkin aku harus kembali mengingatkanmu tentang alasan penting kenapa Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan perintah jilbab kepada kita –kaum Hawa- dan bukan kepada kaum Adam. Saudariku, jilbab adalah pakaian yang berfungsi untuk menutupi perhiasan dan keindahan dirimu, agar dia tidak dinikmati oleh sembarang orang. Ingatkah engkau ketika engkau membeli pakaian di pertokoan, mula-mula engkau melihatnya, memegangnya, mencobanya, lalu ketika kau jatuh cinta kepadanya, engkau akan meminta kepada pemilik toko untuk memberikanmu pakaian serupa yang masih baru dalam segel. Kenapa demikian? Karena engkau ingin mengenakan pakaian yang baru, bersih dan belum tersentuh oleh tangan-tangan orang lain. Jika demikian sikapmu pada pakaian yang hendak engkau beli, maka bagaimana sikapmu pada dirimu sendiri? Tentu engkau akan lebih memantapkan ‘segel’nya, agar dia tetap ber’nilai jual’ tinggi, bukankah demikian? Saudariku, izinkan aku sedikit mengingatkanmu pada firman Rabb kita ‘Azza wa Jalla berikut ini,
“Katakanlah kepada wanita-wanita beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.’” (Qs. An-Nuur: 31)
Dan firman-Nya,
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Ahzaab: 59)
Saudariku tercinta, Allah tidak semata-mata menurunkan perintah jilbab kepada kita tanpa ada hikmah dibalik semuanya. Allah telah mensyari’atkan jilbab atas kaum wanita, karena Allah Yang Maha Mengetahui menginginkan supaya kaum wanita mendapatkan kemuliaan dan kesucian di segala aspek kehidupan, baik dia adalah seorang anak, seorang ibu, seorang saudari, seorang bibi, atau pun sebagai seorang individu yang menjadi bagian dari masyarakat. Allah menjadikan jilbab sebagai perangkat untuk melindungi kita dari berbagai “virus” ganas yang merajalela di luar sana. Sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Abul Qasim Muhammad bin ‘Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya,
“Wanita itu adalah aurat, jika ia keluar rumah, maka syaithan akan menghiasinya.” (Hadits shahih. Riwayat Tirmidzi (no. 1173), Ibnu Khuzaimah (III/95) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir (no. 10115), dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma)
Saudariku, berjilbab bukan hanya sebuah identitas bagimu untuk menunjukkan bahwa engkau adalah seorang muslimah. Tetapi jilbab adalah suatu bentuk ketaatanmu kepada Allah Ta’ala, selain shalat, puasa, dan ibadah lain yang telah engkau kerjakan. Jilbab juga merupakan konsekuensi nyata dari seorang wanita yang menyatakan bahwa dia telah beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu, jilbab juga merupakan lambang kehormatan, kesucian, rasa malu, dan kecemburuan. Dan semua itu Allah jadikan baik untukmu. Tidakkah hatimu terketuk dengan kasih sayang Rabb kita yang tiada duanya ini?
“Aku Belum Berjilbab, Karena…”
1. “Hatiku masih belum mantap untuk berjilbab. Jika hatiku sudah mantap, aku akan segera berjilbab. Lagipula aku masih melaksanakan shalat, puasa dan semua perintah wajib kok..”
Wahai saudariku… Sadarkah engkau, siapa yang memerintahmu untuk mengenakan jilbab? Dia-lah Allah, Rabb-mu, Rabb seluruh manusia, Rabb alam semesta. Engkau telah melakukan berbagai perintah Allah yang berpangkal dari iman dan ketaatan, tetapi mengapa engkau beriman kepada sebagian ketetapan-Nya dan ingkar terhadap sebagian yang lain, padahal engkau mengetahui bahwa sumber dari semua perintah itu adalah satu, yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala?
Seperti shalat dan amalan lain yang senantiasa engkau kerjakan, maka berjilbab pun adalah satu amalan yang seharusnya juga engkau perhatikan. Allah Ta’ala telah menurunkan perintah hijab kepada setiap wanita mukminah. Maka itu berarti bahwa hanya wanita-wanita yang memiliki iman yang ridha mengerjakan perintah ini. Adakah engkau tidak termasuk ke dalam golongan wanita mukminah?
Ingatlah saudariku, bahwa sesungguhnya keadaanmu yang tidak berjilbab namun masih mengerjakan amalan-amalan lain, adalah seperti orang yang membawa satu kendi penuh dengan kebaikan akan tetapi kendi itu berlubang, karena engkau tidak berjilbab. Janganlah engkau sia-siakan amal shalihmu disebabkan orang-orang yang dengan bebas di setiap tempat memandangi dirimu yang tidak mengenakan jilbab. Silakan engkau bandingkan jumlah lelaki yang bukan mahram yang melihatmu tanpa jilbab setiap hari dengan jumlah pahala yang engkau peroleh, adakah sama banyaknya?
2. “Iman kan letaknya di hati. Dan yang tahu hati seseorang hanya aku dan Allah.”
Duhai saudariku…Tahukah engkau bahwa sahnya iman seseorang itu terwujud dengan tiga hal, yakni meyakini sepenuhnya dengan hati, menyebutnya dengan lisan, dan melakukannya dengan perbuatan?
Seseorang yang beramal hanya sebatas perbuatan dan lisan, tanpa disertai dengan keyakinan penuh dalam hatinya, maka dia termasuk ke dalam golongan orang munafik. Sementara seseorang yang beriman hanya dengan hatinya, tanpa direalisasikan dengan amal perbuatan yang nyata, maka dia termasuk kepada golongan orang fasik. Keduanya bukanlah bagian dari golongan orang mukmin. Karena seorang mukmin tidak hanya meyakini dengan hati, tetapi dia juga merealisasikan apa yang diyakininya melalui lisan dan amal perbuatan. Dan jika engkau telah mengimani perintah jilbab dengan hatimu dan engkau juga telah mengakuinya dengan lisanmu, maka sempurnakanlah keyakinanmu itu dengan bersegera mengamalkan perintah jilbab.
3. “Aku kan masih muda…”
Saudariku tercinta… Engkau berkata bahwa usiamu masih belia sehingga menahanmu dari mengenakan jilbab, dapatkah engkau menjamin bahwa esok masih untuk dirimu? Apakah engkau telah mengetahui jatah hidupmu di dunia, sehingga engkau berkata bahwa engkau masih muda dan masih memiliki waktu yang panjang? Belumkah engkau baca firman Allah ‘Azza wa Jalla yang artinya,
“Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, jika kamu sesungguhnya mengetahui.” (Qs. Al-Mu’minuun: 114)
“Pada hari mereka melihat adzab yang diancam kepada mereka, (mereka merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) waktu pelajaran yang cukup.” (Qs. Al-Ahqaaf: 35)
Tidakkah engkau perhatikan tetanggamu atau teman karibmu yang seusia denganmu atau di bawah usiamu telah menemui Malaikat Maut karena perintah Allah ‘Azza wa Jalla? Tidakkah juga engkau perhatikan si fulanah yang kemarin masih baik-baik saja, tiba-tiba menemui ajalnya dan menjadi mayat hari ini? Tidakkah semua itu menjadi peringatan bagimu, bahwa kematian tidak hanya mengetuk pintu orang yang sekarat atau pun orang yang lanjut usia? Dan Malaikat Maut tidak akan memberimu penangguhan waktu barang sedetik pun, ketika ajalmu sudah sampai. Setiap hari berlalu sementara akhiratmu bertambah dekat dan dunia bertambah jauh. Bekal apa yang telah engkau siapkan untuk hidup sesudah mati? Ketahuilah saudariku, kematian itu datangnya lebih cepat dari detak jantungmu yang berikutnya. Jadi cepatlah, jangan sampai terlambat…
4. “Jilbab bikin rambutku jadi rontok…”
Sepertinya engkau belum mengetahui fakta terbaru mengenai ‘canggih’nya jilbab. Dr. Muhammad Nidaa berkata dalam Al-Hijaab wa Ta’tsiruuha ‘Ala Shihhah wa Salamatus Sya’ri tentang pengaruh jilbab terhadap kesehatan dan keselamatan rambut,
“Jilbab dapat melindungi rambut. Penelitian dan percobaan telah membuktikan bahwa perubahan cuaca dan cahaya matahari langsung akan menyebabkan hilangnya kecantikan rambut dan pudarnya warna rambut. Sehingga rambut menjadi kasar dan berwarna kusam. Sebagaimana juga udara luar (oksigen) dan hawa tidaklah berperan dalam pertumbuhan rambut. Karena bagian rambut yang terlihat di atas kepala yang dikenal dengan sebutan batang rambut tidak lain adalah sel-sel kornea (yang tidak memiliki kehidupan). Ia akan terus memanjang berbagi sama rata dengan rambut yang ada di dalam kulit. Bagian yang aktif inilah yang menyebabkan rambut bertambah panjang dengan ukuran sekian millimeter setiap hari. Ia mendapatkan suplai makanan dari sel-sel darah dalam kulit.
Dari sana dapat kita katakan bahwa kesehatan rambut bergantung pada kesehatan tubuh secara umum. Bahwa apa saja yang mempengaruhi kesehatan tubuh, berupa sakit atau kekurangan gizi akan menyebabkan lemahnya rambut. Dan dalam kondisi mengenakan jilbab, rambut harus dicuci dengan sabun atau shampo dua atau tiga kali dalam sepekan, menurut kadar lemak pada kulit kepala. Maksudnya apabila kulit kepala berminyak, maka hendaklah mencuci rambut tiga kali dalam sepekan. Jika tidak maka cukup mencucinya dua kali dalam sepekan. Jangan sampai kurang dari kadar ini dalam kondisi apapun. Karena sesudah tiga hari, minyak pada kulit kepala akan berubah menjadi asam dan hal itu akan menyebabkan patahnya batang rambut, dan rambut pun akan rontok.” (Terj. Banaatunaa wal Hijab hal. 66-67)
5. “Kalau aku pakai jilbab, nanti tidak ada laki-laki yang mau menikah denganku. Jadi, aku pakai jilbabnya nanti saja, sesudah menikah.”
Wahai saudariku… Tahukah engkau siapakah lelaki yang datang meminangmu itu, sementara engkau masih belum berjilbab? Dia adalah lelaki dayyuts, yang tidak memiliki perasaan cemburu melihatmu mengobral aurat sembarangan. Bagaimana engkau bisa berpendapat bahwa setelah menikah nanti, suamimu itu akan ridha membiarkanmu mengulur jilbab dan menutup aurat, sementara sebelum pernikahan itu terjadi dia masih santai saja mendapati dirimu tampil dengan pakaian ala kadarnya? Jika benar dia mencintai dirimu, maka seharusnya dia memiliki perasaan cemburu ketika melihat auratmu terbuka barang sejengkal saja. Dia akan menjaga dirimu dari pandangan liar lelaki hidung belang yang berkeliaran di luar sana. Dia akan lebih memilih dirimu yang berjilbab daripada dirimu yang tanpa jilbab. Inilah yang dinamakan pembuktian cinta yang hakiki!
Maka, jika datang seorang lelaki yang meminangmu dan ridha atas keadaanmu yang masih belum berjilbab, waspadalah. Jangan-jangan dia adalah lelaki dayyutsyang menjadi calon penghuni Neraka. Sekarang pikirkanlah olehmu saudariku, kemanakah bahtera rumah tanggamu akan bermuara apabila nahkodanya adalah calon penghuni Neraka?
6. “Pakai jilbab itu ribet dan mengganggu pekerjaan. Bisa-bisa nanti aku dipecat dari pekerjaan.”
Saudariku… Islam tidak pernah membatasi ruang gerak seseorang selama hal tersebut tidak mengandung kemaksiatan kepada Allah. Akan tetapi, Islam membatasi segala hal yang dapat membahayakan seorang wanita dalam melakukan aktivitasnya baik dari sisi dunia maupun dari sisi akhiratnya. Jilbab yang menjadi salah satu syari’at Islam adalah sebuah penghargaan sekaligus perlindungan bagi kaum wanita, terutama jika dia hendak melakukan aktivitas di luar rumahnya. Maka dengan perginya engkau untuk bekerja di luar rumah tanpa jilbab justru akan mendatangkan petaka yang seharusnya dapat engkau hindari. Alih-alih mempertahankan pekerjaan, engkau malah menggadaikan kehormatan dan harga dirimu demi setumpuk materi.
Tahukah engkau saudariku, siapa yang memberimu rizki? Bukankah Allah -Rabb yang berada di atas ‘Arsy-Nya- yang memerintahkan para malaikat untuk membagikan rizki kepada setiap hamba tanpa ada yang dikurangi barang sedikitpun? Mengapa engkau lebih mengkhawatirkan atasanmu yang juga rizkinya bergantung kepada kemurahan Allah?
Apakah jika engkau lebih memilih untuk tetap tidak berjilbab, maka atasanmu itu akan menjamin dirimu menjadi calon penghuni Surga? Ataukah Allah ‘Azza wa Jalla yang telah menurunkan perintah ini kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallamyang akan mengadzabmu akibat kedurhakaanmu itu? Pikirkanlah saudariku… Pikirkanlah hal ini baik-baik!
7. “Jilbab itu bikin gerah, dan aku tidak kuat kepanasan.”
Saudariku… Panas mentari yang engkau rasakan di dalam dunia ini tidak sebanding dengan panasnya Neraka yang akan kau terima kelak, jika engkau masih belum mau untuk berjilbab. Sungguh, dia tidak sebanding. Apakah engkau belum mendengar firman Allah yang berbunyi,
“Katakanlah: ‘(Api) Neraka Jahannam itu lebih sangat panas. Jika mereka mengetahui.’” (Qs. At-Taubah: 81)
Dan sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya,
“Sesungguhnya api Neraka Jahannam itu dilebihkan panasnya (dari panas api di bumi sebesar) enam puluh sembilan kali lipat (bagian).” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 2843) dan Ahmad (no. 8132). Lihat juga Shahih Al-Jaami' (no. 6742), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu]
Manakah yang lebih sanggup engkau bersabar darinya, panasnya matahari di bumi ataukah panasnya Neraka di akhirat nanti? Tentu engkau bisa menimbangnya sendiri…
8. “Jilbab itu pilihan. Siapa yang mau pakai jilbab silakan, yang belum mau juga gak apa-apa. Yang penting akhlaknya saja benar.”
Duhai saudariku… Sepertinya engkau belum tahu apa yang dimaksud dengan akhlak mulia itu. Engkau menafikan jilbab dari cakupan akhlak mulia, padahal sudah jelas bahwa jilbab adalah salah satu bentuk perwujudan akhlak mulia. Jika tidak, maka Allah tidak akan memerintahkan kita untuk berjilbab, karena dia tidak termasuk ke dalam akhlak mulia.
Pikirkanlah olehmu baik-baik, adakah Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berakhlak buruk? Atau adakah Allah mengadakan suatu ketentuan yang tidak termasuk dalam kebaikan dan mengandung manfaat yang sangat besar? Jika engkau menjawab tidak ada, maka dengan demikian engkau telah membantah pendapatmu sendiri dan engkau telah setuju bahwa jilbab termasuk ke dalam sekian banyak akhlak mulia yang harus kita koleksi satu persatu. Bukankah demikian?
Ketahuilah olehmu, keputusanmu untuk tidak mengenakan jilbab akan membuat Rabb-mu menjadi cemburu, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallampernah bersabda yang artinya,
“Sesungguhnya Allah itu cemburu dan seorang Mukmin juga cemburu. Adapun cemburunya Allah disebabkan oleh seorang hamba yang mengerjakan perkara yang diharamkan oleh-Nya.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 4925) dan Muslim (no. 2761)]
9. “Sepertinya Allah belum memberiku hidayah untuk segera berjilbab.”
Saudariku… Hidayah Allah tidak akan datang begitu saja, tanpa engkau melakukan apa-apa. Engkau harus menjalankan sunnatullah, yakni dengan mencari sebab-sebab datangnya hidayah tersebut.
Ketahuilah bahwa hidayah itu terbagi menjadi dua, yaitu hidayatul bayan danhidayatut taufiqHidayatul bayan adalah bimbingan atau petunjuk kepada kebenaran, dan di dalamnya terdapat campur tangan manusia. Adapun hidayatut taufiq adalah sepenuhnya hak Allah. Dia merupakan peneguhan, penjagaan, dan pertolongan yang diberikan Allah kepada hati seseorang agar tetap dalam kebenaran. Dan hidayah ini akan datang setelah hidayatul bayan dilakukan.
Janganlah engkau jual kebahagiaanmu yang abadi dalam Surga kelak dengan dunia yang fana ini. Buanglah jauh-jauh perasaan was-wasmu itu. Tempuhlah usaha itu dengan berjilbab, sementara hatimu terus berdo’a kepada-Nya, “Allahummahdini wa saddidni. Allahumma tsabit qolbi ‘ala dinik (Yaa Allah, berilah aku petunjuk dan luruskanlah diriku. Yaa Allah, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu).”

Kamis, 03 Oktober 2013

Akhwat or Ikhwan Jatuh Cinta???

Wah, ngomongin tentang cinta ndak bakal bosan jadi ulasan zaman. Tapi ini bukan cinta biasa lho!!! Cinta luar biasa antara akhwat dan ikhwan.
Akhwat dan ikhwan?!Jatuh cinta?! Emang bisa?! ya bisalah!
“Akhwat or ikhwan juga manusia kaleee”. Mereka juga bisa jatuh cinta, itu fitrah yang di berikan oleh Allah. “So, ndak ada yang salah dunks?? kan udah jadi sunnatullah, kalau rasa cinta antara lawan jenis itu memang ada, kalau ndak berarti mereka ndak normal dunk???” Eits tunggu dulu! Tetap ada aturan mainnya bro, islam itu syamil ndak setengah-setengah, dan islam juga tawarkan koridor syar’i tentang masalah yang satu ini. Penasaran??? yuk simak ulasan di bawah ini… semoga bermanfaat ^_^
Yup! Yang namanya Cinta, apalagi Cinta antar lawan jenis, hal itu mah wajar-wajar saja. Yang gak wajar itu, kalo rasa cinta yang ada pada diri kita malah membuat kita melakukan hal-hal yang gak sepantasnya dilakukan (apaan tuh?!). Apalagi oleh ikhwan akhwat. Perlu diketahui, gelar ikhwan akhwat itu bukan gelar sembarangan. Yang ada di pikiran kebanyakan orang nih, yang namanya ikhwan akhwat itu gak nganut yang namanya pacaran. Ikhwan akhwat lebih nganut sistem ta’aruf sebelum nikah. Gaya pacaran ikhwan akhwat. Ya, setelah mereka nikah nanti.
Lantas, bagaimana sebenarnya kondisi interaksi ikhwan akhwat itu sendiri?! Apakah seperti yang di duga kebanyakan orang pada umumnya?. Akankah interaksi yang dilihat selama ini di luaran sama seperti yang aslinya?
Banyak orang yang memperhatikan bahwa ikhwan akhwat itu sangat menjaga dalam berinteraksi. Namun terkadang, ikhwan akhwat juga bisa khilaf. Loh kok khilaf?! Maksudnya apa?!.
Ada hal-hal yang terkadang sulit dilakukan ikhwan akhwat untuk menjaga interaksi itu. Misalnya dalam kegiatan suatu organisasi masyarakat/ sosial. Terkadang sulit untuk menundukkan pandangan atau tidak bercanda secara berlebihan. Hal ini mungkin masih bisa dimaklumi karena kondisinya yang cukup heterogen. Niatnya sih pada awalnya “ya, jangan kaku-kaku amat!, agar dakwah lebih menyentuh semua lapisan masyarakat”. Hingga, terkadang pencairan suasana berlebihan tak dapat dielakkan. Tapi, kalo kondisinya lebih banyak orang yang paham akan batasan interaksi, apakah itu diwajarkan?!
Seharusnya ikhwan akhwat tetap menjaga interaksi. Atau kalaupun akhirnya memang tidak bisa dihindari untuk ‘mencair’, ya sudah lakukanlah interaksi itu sewajarnya, jangan sampai lebur kebablasan dan akhirnya malah mengenyampingkan nilai syar’i dalam pergaulan. Gaul boleh tapi tetap dalam koridor yang seharusnya, tidak boleh seradak-seruduk atau malah ngalur ngelindur tanpa kejelasan. Ikhwan akhwat sebagai aktivis da’wah harus punya sistem pengentalan diri.
Ibarat suatu fluida, jika dia berada di tempat yang sempit atau berada di suatu pipa yang diameternya kecil, maka untuk dapat melewati itu, dia perlu mengurangi kekentalannya, sehingga fluida itupun dapat mengalir dengan lancar. Namun jika memang fluida itu telah berada di pipa dengan diameter yang lebih besar, maka kekentalannya perlu dikembalikan seperti semula agar mengalirnya fluida itu tetap konstan seperti aliran sebelumnya. Nah seperti itu pulalah dengan interaksi yang seharusnya mampu dilakoni oleh ikhwan akhwat yang bergelar aktifis dakwah.
Ada juga kasus ikhwan yang curhat ke akhwat ataupun sebaliknya. Karena saling menganggap saudara sehingga dalam berinteraksi terlampau dekat layaknya saudara kandung. Memang betul sih, bahwa persaudaraan yang dibangun ‘di sini’ atas dasar aqidah bukan pertalian darah. Walaupun hanya menjadikan tempat curhat dan gak lebih dari sekedar saudara, tapi sebaiknya tetap berhati-hati karena masalah hati gak ada yang tau. Sebagaimana firman Allah: “Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati” (QS 64:4).
Ingat! Apa yang tersembunyi dalam hati kita, Allah juga akan mengetahuinya. Tetap saja, itu bukan mahramnya walaupun hanya sebatas berakrab-akrab ria. Bisa aja hari ini curhat-curhatan, eh besoknya mulai timbul ‘rasa’ yang berbeda. Curhat berduaan akan menimbulkan kedekatan, lalu ikatan hati, yang bisa menganggu dakwah. Apalagi bila yang dicurhatkan adalah masalah pribadi yang notabene tidak ada sangkut pautnya dengan da’wah. Atau bisa saja si ikhwan menganggap si akhwat sebagai saudara biasa, tapi ternyata si akhwat malah punya perasaanyang berbeda, begitupun sebaliknya. Yang lebih parah lagi nih, kalau mereka yang belum paham melihat hal itu, bisa-bisa mereka jadi illfeel sama ikhwan-akhwat. Atau terkadang, mereka yang sudah paham pun bisa saja jadi su’udzon melihat interaksi ini, sehingga menganggap si ikhwan dan akhwat tersebut telah terjangkit “VMJ (Virus Merah Jambu)”. Padahal ikhwan dan akhwat tersebut tidak punya perasaan apa-apa, cuma sebatas saudara atau teman biasa. Sehingga, ada benarnya juga jika kita sebaiknya menjaga interaksi dengan lawan jenis. Dan ini pastinya ndak hanya berlaku terhadap ikhwan akhwat saja.
Lebih baik menjaga bukan??? daripada terjadi fitnah! Kan bisa berabe. Kalau mau curhat, ya utamakan sesama jenis dulu. Selain lebih aman dan terjaga, memang begitulah seharusnya ketika ada seorang ikhwan ataupun akhwat yang curhat ke lawan jenisnya, maka tempat yang di curhatin itu seharusnya mengarahkan seseorang ke sesama jenis, yang merupakan teman dekatnya sehingga si ikhwan ataupun akhwat bisa di tangani langsung tanpa lintas gender. Agar tak terjadi hal-hal yang tak sesuai dengan kaidah syar’i.
Ok, yang terpenting adalah kita saling menasehati dengan cara yang terbaik. Kalau ikhwan yang melampaui batas kepada akhwat, akhwatnya harus tegas. Demikian pula sebaliknya. Sesama ikhwan dan sesama akhwat juga harus ada yang saling mengingatkan dengan tegas. Ingat! tegas bukan berarti harus marah-marah, apalagi dengan cara ngedumel >.< karena kita tentunya tahu bahwa tak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Semua manusia tak luput dari yang namanya salah dan khilaf. Jika memang mengaku bahwa kita bersaudara, maka ingatkanlah! Tegurlah! Jangan biarkan saudara kita terjerembab.
Terkait dengan cinta, sekali lagi diingatkan bahwa akhwat juga bisa jatuh cinta. Ikhwan juga bisa jatuh cinta. So, jangan lupa senantiasa menjaga hati, hati-hati dengan perasaan hati, jangan sampai sakit hati karena yang dituju tak sampai ke hati. Gaul boleh tapi tetap kudu sya’i. hindari interaksi hati dengan bukan yang menjadi hak tapi hiasilah hati dengan cinta hakiki. Jangan mau jatuh cinta tapi bangunlah cinta di atas keimanan. Lah, kalau sudah terlanjur jatuh gimana??? Datanglah ke murobbi/yahmu katakan niatmu pada mereka, mintalah saran terbaik dari mereka. Jika siap menikah maka tafadhol berproseslah jika hal itu memungkinkan, jika tidak maka berpuasalah, perbanyak istighfar dan mohon ampunlah pada Allah. Tetaplah jaga hijab dimana dan kapanpun kita berada… OK ^_~